Kesejahteraan, Kritik, atas Demokrasi

Opini
Spread the love

Demokrasi sebagai wujud tercapainya kehidupan yang layak dan dihargai banyak orang, tetapi nyatanya simbol yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk sejahtera hanya sebatas plot twist semata, perihal dapat menjadi keberuntungan dalam hidup, malah menjadi tekanan tersendiri dikehidupannya.

Aturan yang melekat pada Demokrasi atas terjaminnya kehidupan bermasyarakat melalui hak-hak mereka dapat terpenuhi, malah menjadi boomerang atas setiap sikap dan perilaku yang masyarakat lakukan, seharusnya yang dikatakan merdeka dan demokratis sebagai bentuk mekanisme dalam memunculkan ide melalui kritikan ini semua adalah untuk pembenahan.

Namun alih-alih kritikan dianggap sebagai benalu bagi stabilitas pemangku kebijakan, sehingga ketika dikritik malah dibilang, “coba berikan solusi atas kritikan yang dilontarkan” Sangat jelas padahal mereka dibayar untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada. Dan masyarakat sebagai pihak yang merupakan bagian dari amanah kepada mereka yang seyogyanya memberikan kritik atas kurang beresnya pekerjaan mereka.

Kesejahteraan menjadi penyeimbang kehidupan masyarakat sebagai bentuk kebahagiaan tersendiri, melalui hak-haknya yang terpenuhi, namun apakah yang dirasakan masyarakat sekarang sebagai wujud kebahagiaan? Sudahkah semuanya terpenuhi?

Ini menjadi persoalan sekaligus solusi bagi public policy untuk menjawab semua kritik yang diberikan.

Dalam dunia pendidikan sendiri, setiap guru memberikan pembelajaran dari 8 jam setiap per harinya dalam 5 hari kerja, namun hanya menerima gaji di setiap bulannya dari Rp. 500  – Rp. 700 ribu. Artinya hampir seluruh waktunya di habiskan untuk mengajar, di sisi lain untuk menambah penghasilannya ada juga dengan berdagang, bertani, membuka les, dan lain sebagainya. Ini saya menganggapnya sebagai manusia super yang mampu membagi waktunya dengan kegiatan lain.

Sebagai orang yang bekerja dalam dunia pendidikan, berbagai kritikan yang dilayangkan ke guru mengenai gaji yang kurang, ini mendapat respon yang kurang baik bahkan buruk, sehingga mendapat respon “menjadi guru itu sebagai pengabdian bukan sebagai ladang pekerjaan, jika ingin kaya jangan jadi guru”.

Menjadi guru bukan lagi soal mencari pekerjaan atau bahkan pengen kaya, sejak kapan guru dianggap sebagai sebuah pekerjaan? Mungkin saja sejak adanya kritik tentang pensejahteraan guru honorer”. Padahal bukan seperti itu. Seorang guru ingin mendapatkan penghasilan yang layak pun bisa,

Jika dilihat melalui integritas seorang, bisa dilihat dari  mereka bekerja. Mulai dari mendisiplinkan hingga dari memberikan pembelajaran, yang sangat jelas memberikan amunisi pada anak agar mampu merepresentasikan dirinya bahkan mengetahui suatu yang buruk dan yang baik.

Seharusnya pemangku kebijakan sadar dan berterima kasih atas kritikan yang diberikan. Karena munculnya kritikan adalah pertanda di mana adanya sinergi atas kurang maksimalnya kebijakan yang belum tersampaikan, sehingga dapat ditinjau kembali kekurangan yang ada. Dan itu akan menuai pada terlaksananya program pemerintah.

Jika memang kebijakan mengacu pada proses pensejahteraan dan berjalan dengan tepat, sesuai dengan aturan yang diinginkan, maka akan mampu menjawab persoalan  tersebut

Dalam hal ini upaya melakukan penyejahteraan guru yang manusiawi sudah dilakukan oleh pemerintah melalui penyediaan bantuan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), penyediaan tersebut dapat dilihat dari masing-masing sekolah yang sebenarnya dapat dihitung dengan mengalikan antara satuan Biaya Dana BOS dengan jumlah peserta didik yang ada disetiap instansi pendidikan. Sehingga bisa di hitung besaran jumlah yang didapat setiap lembaga pendidikan.

Dengan total dana yang didapat dari permasing-masing siswa, selanjutnya pengalokasian pada beberapa keperluan sekolah begitu pula dibagikan juga dengan  jumlah guru honorer yang ada di Sekolah tersebut.

Setidaknya ada sedikit jawaban yang memungkinkan dapat dikaji kembali dalam penyerataan yang terjadi pada guru honorer lainnya, sehingga akan muncul akar permasalahan yang sebenarnya. Dan harus segera diselesaikan dengan semaksimal mungkin.

Apa lagi hari ini mulai ada beberapa pensiunan guru yang sudah purnatuganya dalam mengajar, akan semakin banyak pengajar baru yang menggantikannya. Di sini terlihat dari besar nya jumlah lulusan yang terdapat di Indonesia. Yang tidak memungkinkan semua sekolah mampu menampungnya. Ini mempengaruhi besaran juga dalam pengalokasian pada setiap dana BOS kepada setiap guru honorer.

Sehingga dapat ditilik dari jumlah lulusan mahasiswa, terdapat 1,37 juta mahasiswa yang menuntut ilmu di Prodi Kependidikan di seluruh Indonesia setiap tahunnya. Jumlah mahasiswa tersebut merupakan sebagian dari total seluruh mahasiswa di bangku perguruan tinggi.

Besarnya jumlah mahasiswa kependidikan tersebut pada muaranya akan menimbulkan masalah pada penyerapan lulusan yang masuk di dunia kerja, khususnya di lembaga pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa institusi pendidikan mayoritas menjadi bagian dari unit pemerintah dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia setiap tahunnya sangat terbatas.

Pada pernyataan di atas, tak hanya perihal kritik tentang gaji guru honorer yang rendah, tetapi tentang berbagai hal semacam yang memiliki relevansi, sehingga adanya keterkaitan tersebut harus dicari akar permasalahannya. Dan hal tersebut seharusnya disambut dengan baik, karena dengan seperti itu ada harapan kondisi akan berubah lebih baik.

Jika pemerintah memilki komitmen atas kesejahteraan guru honorer maka sudah saatnya pemerintah memberikan solusi  dalam menyelaraskan, pada persoalan lulusan pendidikan terbanyak dan penseleksian pada setiap guru yang kompeten sehingga yang lain bisa diarahkan pada pembelajaran sesuai dengan kompetensi masing-masing.

wassalam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *